Indonesia punya potensi pasar domestik yang luas, khususnya untuk 10 penyakit prioritas nasional seperti hipertensi, diabetes, kanker, stroke, nyeri sendi, hingga stunting. Dukungan alam pun melimpah: negeri ini menyimpan lebih dari 30.000 jenis tanaman obat.
PKBTalk24 | Jakarta ~ Di tengah derasnya arus modernisasi dunia kesehatan, fitofarmaka hadir sebagai simbol transformasi pengobatan berbasis bahan alam di Indonesia. Obat herbal yang sudah lolos uji klinik Randomized Controlled Trial (RCT) ini tak lagi sekadar jamu, melainkan produk farmasi yang mendapat pengakuan ilmiah.
Namun, ibarat pepatah, “di balik peluang besar ada tantangan besar.” Indonesia punya potensi pasar domestik yang luas, khususnya untuk 10 penyakit prioritas nasional seperti hipertensi, diabetes, kanker, stroke, nyeri sendi, hingga stunting. Dukungan alam pun melimpah: negeri ini menyimpan lebih dari 30.000 jenis tanaman obat.
Sayangnya, jumlah produk fitofarmaka justru menurun – dari 26 item kini tinggal 20. Biaya riset yang mahal dan waktu penelitian yang panjang masih menjadi penghambat utama.
Indonesia Tertinggal dari Thailand dan Korea
Dalam konteks global, WHO menempatkan Indonesia dalam kategori sistem inklusi, artinya pengobatan tradisional belum sepenuhnya terintegrasi dengan layanan kesehatan modern. Bandingkan dengan Cina, Vietnam, dan Korea yang sudah masuk kategori integratif. Bahkan Thailand kini ditetapkan WHO sebagai Collaborating Centre of Applied Thai Traditional Medicine (CATTM) lewat inovasi Siriraj Hospital, Mahidol University.
Bagi Indonesia, capaian itu seharusnya menjadi motivasi untuk berlari lebih kencang. Pasar terbuka, SDM tersedia, dan konsumen semakin mencari solusi kesehatan yang natural tapi berbasis sains.
Success Story Fitofarmaka Indonesia
-
Herba Meniran – Imunitas Tubuh
Produk fitofarmaka berbahan meniran terbukti efektif meningkatkan daya tahan tubuh dan sudah digunakan luas oleh tenaga medis. Dikemas dalam kapsul, rasa pahit tersamarkan sehingga diterima pasien. Namun, produk ini tidak boleh diberikan pada penderita autoimun (lupus, reumatoid artritis, dll.) karena mekanisme kerjanya sebagai imunostimulan. -
Seledri + Kumis Kucing – Antihipertensi
Kombinasi dua herbal ini dirancang menurunkan tekanan darah sekaligus meminimalkan efek samping. Cocok untuk penderita hipertensi yang berisiko stroke, serangan jantung, atau gagal ginjal kronis. Tapi tidak boleh digunakan ibu hamil, karena bersifat teratogenik. -
Daun Bungur + Kayu Manis – Antidiabetes
Fitofarmaka ini mampu membantu pasien diabetes melitus tipe 2, bahkan bisa dikombinasikan dengan obat oral seperti metformin. Potensial juga untuk penderita PCOS. Kontraindikasi belum ditemukan, meski kayu manis mengandung kumarin yang bisa memicu alergi ringan. -
Ikan Gabus + Jeruk + Kunyit – Booster Albumin
Inovasi lain adalah kombinasi unik yang membantu meningkatkan kadar albumin pada pasien hipoalbuminemia, termasuk penderita TBC atau Covid-19. Albumin penting untuk menjaga integritas pembuluh darah dan distribusi zat gizi dalam tubuh.
Momentum Besar: Dari Jamu ke Industri Kesehatan Modern
Keberhasilan fitofarmaka bukan hanya soal kesehatan, tapi juga peluang bisnis. Indonesia punya pasar domestik raksasa, potensi ekspor yang tinggi, dan koleksi biodiversitas yang tak tertandingi. Yang dibutuhkan adalah komitmen riset, investasi, dan regulasi yang mendukung percepatan produk fitofarmaka agar bisa bersaing di level global.
Jika Thailand bisa diakui WHO, mengapa Indonesia tidak? (AKH)








