KDM—mengambil langkah kontroversial: menaikkan jumlah siswa per rombongan belajar (rombel) di SMA/SMK negeri dari 36 menjadi 50 orang per kelas. Solusi ataukan petaka?
Oleh: Ahmad Kholil ( @KholilAhmad_AKH) | Pemimpin Redaksi PKBTalk24, Pemerhati Pendidikan, Lingkungan, dan Kebijakan Publik. Tinggal di Jakarta.
PKBTalk24 | Jakarta ~ Kebijakan publik sejatinya adalah instrumen strategis untuk menghadirkan keadilan dan kemajuan. Namun dalam praktiknya, kebijakan kerap terjebak dalam pencarian simpati publik semata. Itulah yang kini terjadi di Jawa Barat, di bawah kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi.
Dengan dalih memperluas akses pendidikan, Dedi Mulyadi—yang akrab disapa KDM—mengambil langkah kontroversial: menaikkan jumlah siswa per rombongan belajar (rombel) di SMA/SMK negeri dari 36 menjadi 50 orang per kelas. Keputusan tersebut tertuang dalam Kepgub No. 463.1/Kep.323-Disdik/2025.
Kebijakan ini tampak populis—lebih banyak anak bisa mengenyam pendidikan negeri. Namun ketika digali lebih dalam, kebijakan ini menyimpan efek domino yang mengancam ekosistem pendidikan di Jawa Barat.
Runtuhnya Pilar Sekolah Swasta
KH Imam Jazuli, Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, menyebut kebijakan tersebut sebagai “jalan pintas yang mengorbankan keberlanjutan.” Betapa tidak, ribuan sekolah swasta kini menghadapi krisis akut akibat kekurangan peserta didik.
“Di balik kesan positif itu, terdapat realitas pahit. Ribuan sekolah swasta di Jawa Barat mengalami krisis peserta didik yang mengancam keberlangsungan operasional mereka,” ujarnya.
Data dari Forum Kepala Sekolah SMA Swasta (FKSS) menunjukkan sekitar 95% dari 3.858 sekolah menengah swasta di Jabar gagal memenuhi 50% kuota siswa baru. Di Purwakarta, 45 sekolah swasta hanya menerima 7–32 siswa. Di Cirebon, SMK Veteran cuma mendapat 11 pendaftar. Bahkan SMA/SMK Pasundan 2 Tasikmalaya hanya menerima 6 siswa dan terancam tutup, padahal pernah melahirkan atlet voli internasional.
Ugal-ugalan dan Mengabaikan Mitra Pendidikan
Kritik keras datang dari Muhammadiyah, salah satu organisasi pendidikan terbesar di Indonesia. Mereka menilai kebijakan ini “ugal-ugalan”, karena tidak mempertimbangkan keberadaan sekolah swasta sebagai mitra strategis pemerintah.
“Kebijakan ini seperti membunuh perlahan lembaga pendidikan swasta yang selama ini telah membantu negara mencerdaskan kehidupan bangsa,” tegas perwakilan Muhammadiyah Jawa Barat.
Muhammadiyah juga mengkhawatirkan kualitas pembelajaran. Dalam kelas berisi 50 siswa, interaksi antara guru dan murid menjadi minim. Pendidikan menjadi transaksional, bukan transformasional.
Kebijakan menaikkan kapasitas sekolah negeri memang mengesankan di atas kertas. Tapi pada kenyataannya, kebijakan yang hanya melihat sisi populasi tanpa memikirkan distribusi peran pendidikan secara menyeluruh bisa berakibat fatal.
KH Imam Jazuli menegaskan, kebijakan publik harus berpijak pada keadilan sistemik, bukan sekadar pujian sesaat.
“Kebijakan yang adil harus memberi keuntungan kepada semua pihak secara sama rata dan memastikan tidak ada kelompok yang dikorbankan demi kepentingan kelompok lain,” jelasnya.
Refleksi dan Jalan Tengah
Kebijakan yang mengabaikan efek jangka panjang berisiko menciptakan beban baru bagi negara. Jika sekolah swasta tutup massal, siapa yang akan menampung ribuan siswa selanjutnya? Negara akan menghadapi krisis kapasitas dan infrastruktur pendidikan.
Oleh karena itu, solusi tidak bisa bersifat sepihak. Pemerintah bisa mengadopsi model kolaboratif, seperti:
-
Subsidi silang antara sekolah negeri dan swasta,
-
Insentif bagi sekolah swasta yang menerima siswa dari keluarga kurang mampu,
-
Keterlibatan organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah, NU, dan FKSS dalam penyusunan kebijakan pendidikan.
Mengakhiri refleksinya, Kiai Jazuli memberi pengingat yang kuat: “Popularitas memang bisa mendatangkan pujian sesaat, tetapi hanya kebijakan yang berkeadilanlah yang akan dikenang sebagai warisan berharga bagi masyarakat.”
Kebijakan Gubernur KDM akan tercatat dalam sejarah tata kelola pendidikan Indonesia. Apakah ia dikenang sebagai pemimpin visioner yang memperluas akses pendidikan secara adil? Ataukah sebagai pemimpin yang terlalu tergesa meraih simpati, sambil menutup mata terhadap dampaknya pada mitra dan pelaksana pendidikan?
Jawabannya akan tergantung pada satu hal: keberanian untuk mendengar, mengevaluasi, dan memperbaiki. (***)
_______
Penulis : Ahmad Kholil ( @KholilAhmad_AKH) adalah Pemimpin Redaksi PKBTalk24.Com, Pemerhati Pendidikan, Lingkungan, dan Kebijakan Publik. Tinggal di Jakarta.

KDM—mengambil langkah kontroversial: menaikkan jumlah siswa per rombongan belajar (rombel) di SMA/SMK negeri dari 36 menjadi 50 orang per kelas. Solusi ataukan petaka? 






